17.24

Cinta Lama Menyapa

Cinta? Masih adakah cinta itu?” sebaris pertanyaan itu menuntut sebuah jawaban jujur dari hati.
“Tidak! Itu bukan cinta,” bantah hatiku sengit.
Tapi bukankah pertemuan tak disengaja itu telah membuktikannya. Bila tidak cinta, kenapa dada ini harus berdebar saat melihat wajah cantiknya? Kenapa jantung ini berdetak lebih cepat saat mendengar lembut suara yang mengalir merdu dari bibir merahnya? Kenapa lidah ini menjadi kelu saat berbincang dengannya?
Hhh..., Mungkinkah rentang waktu 6 tahun tidak mampu mengikis habis cinta ini. Mungkinkah cinta ini terlampau dalam menggurat hati hingga tiada sanggup terenggut oleh siapapun dan apapun. Sekalipun oleh hinaan orang tuanya yang tiada mau menerima kondisiku.
Aku termenung, semilir angin malam mengiring renunganku pada pertemuan sore tadi.
“Slamet...?,” sebuah panggilan memudarkan konsentrasi membacaku.
Aku menoleh, dan... Ya, Alloh..., seraut wajah cantik menatapku. Mata itu, hidung itu, bibir itu, Aihh..., sepertinya aku mengenal gadis ini.
“Ayang...? Bener kamu Ayang kan...?” tanya gadis itu.
Ya, Alloh..., ternyata benar. Panggilan itu memudarkan segala keraguanku. Ayang adalah panggilan sayang dari seorang gadis yang pernah mewarnai hari-hariku. Gadis yang pernah terenggut dari pelukanku. Dan sekarang, bidadari itu telah tepat berdiri di hadapanku.
“Al..., Alexa....?” tanyaku menggantung tak percaya.
Gadis itu mengangguk. Senyumnya merekah Sementara aku masih saja mengucek-ucek mata ini.
Tiba-tiba gadis itu menghambur, memelukku dengan erat.
“Al..., benarkah ini kamu?” tanyaku lirih. Gemuruh detak jantungku nyaris mengaburkan suara pertanyaan itu.
Bukan jawaban yang aku dengar, hanya isak tangis mengalun lirih.
Aku tertegun. Tanpa sadar, Aku membalas pelukannya. Sejuta rasa aku benamkan dalam dekapan.
“Kam... kamu menangis, Al...,” tanyaku terbata-bata. “Kenapa?”
Alexa melepaskan pelukannya. Dia menyusut air mata yang berlinang lalu menatapku. Jemari lentiknya menggenggam tanganku.
“Aku bahagia, Yang. Nyaris gila aku mencarimu di kota ini.” tuturnya tanpa menyembunyikan kebahagiaan.
Aku termangu, “Kam... kamu mencari...ku?”
“Nanti aku ceritain, sekarang kita cari tempat yang enak buat ngobrol.” ajak Alexa seraya mengajakku meninggalkan counter buku itu.
“Hhh...,” aku menghela nafas lagi. Pertemuan sore tadi mengobrak-abrik hatiku yang mulai tertata rapi. Alexa...Alexa..., kenapa engkau harus hadir kembali? Tidakkah engkau mengerti, luka di hati ini belumlah mengering dan sekarang akankah engkau mendarahkannya lagi?
Hhh.., ku sandarkan tubuh di tembok kamar. Tapi ternyata aku tidak sendiri. Engkaupun terluka oleh perpisahan waktu itu. Hatimu pun lantak selantak hatiku. Padahal papa mu sendiri yang bilang, bahwa aku tak pantas untukmu. Kamu dan aku seperti langit dan bumi. Engkaulah sang langit dan akulah si bumi. Bagaimana mungkin tangan bumi mampu merengkuh sang langit?
Biarpun aku tak pernah dapat mengerti, kenapa cinta ini dipisahkan. Bukankah semua manusia itu terlahir sama. Tiada beda di mata Alloh kecuali iman dan taqwa. Dan cinta pun tak pernah mengenal kasta. Dia hadir begitu saja, menautkan dua hati yang saling mendamba.